Jumat, 11 September 2015

Seranum rindu di Lawu

Secangkir kopi yang baru kubuat terjatuh dari atas meja kerjaku, terhempas oleh tangan kecil ini. Belum sedikitpun kuteguk dan kucicipi rasa pahit manisnya. Rasa pahit atau manis yang dominan tergantung dari adukan pertama. Apapun yang dominan kau harus terima. Seperti halnya kehidupan, rasa pahit manisnya satu paket. Hanya saja manusia tak pernah sadar bahwa pabila kita berdoa meminta hujan kita harus berurusan dengan lumpurnya, pabila meminta hangat kita harus berurusan dengan teriknya kemarau. Begitupun dengan jatuh cinta, seringkali manusia tak merasa terima dengan rasa "jatuh" nya. Itulah manusia.
Kembali  lagi pada  kopi siang ini, dua gelas creamy latte habis tanpa sisa lengkap dengan bungkusnya yang masih berserakan di atas meja kerjaku. Hari ini begitu terasa lama sekali, mungkin karena ada sesuatu yang kutunggu. Kuhabiskan sisa waktu dengan membaca, menggambar dan sesekali tersenyum sendiri melihat tingkah laku orang-orang disekitar. Selalu sibuk menyaksikan kesibukan orang lain. Walau aku juga tak yakin mereka benar-benar sibuk. Yang tergambar pada wajah mereka hanya uang dan kecemasan, hiruk pikuk ibukota. Dan memang tidak bisa dipungkiri uang memegang kendali...
Bisingnya memecahkan gendang telinga, ramainya melelahkan mata. Seperempat hari kuhabiskan disana seperti bunga layu kepanasan. Sore ini, saat adzan ashar mulai kalah dengan riuhnya manusia yang ingin cepat-cepat kembali ke rumahnya masing-masing untuk melepas penat dengan orang-orang tercinta. Sementara aku masih tersenyum sendiri melihat keadaan sekitar. Kutengok jam tangan. "Waktunya bernostalgia dengan teman hidup *ransel* ." Pikirku.
Tanpa kurasakan terik, ku berjalan menuju keramaian, keramaian yang membosankan. Lama sudah ku tak memasuki gerbang ini. Gerbang hilir mudik manusia beriman maupun tak beriman dari desa ke kota, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya gerbang yang sangat kubenci. Benci karena,,,sebut saja calo kendaraan dan karbondioksida yang membuat urat urat kepala naik dan dahi sedikit mengkerut. Beruntungnya hanya transit di gerbang ini. Suara mesin kereta api memegakkan telinga.
Kuhabiskan sudah 14 jam dalam kendaraan panjang ini, sedikit ku bertanya-tanya. Apa mereka tidak bosan berdiri di sini melayani penumpang?pikirku. Apa karena pengabdian? Apa karena pelayanan? atau hanya karena tuntutan situasi kondisi? pertanyaan ini silakan tanya pada mereka disana.
Emmm...disetiap perjalanan pasti ada hambatan sekecil apapun. Tidak semua yang kita rencanakan akan selalu berjalan dengan mulus. Ketauhilah ini sudah rancangan-Nya.
Pikir cemas terlintas sesaat pada orang tua yang kukasihi di rumah. Terimakasih pada-Nya karena ku masih diberi nafas kehidupan.
Perjalanan ku lanjutkan dengan menggunakan bus seperempat. Hati dan pikiranku sudah disana, di titik pendakian bersama mereka yang kukasihi. Semoga mereka baik-baik saja, ucapku.
Senja sore itu sangat ragu, seakan takut akan datang nya malam. Malam pun menjelang merenggut sisi terang. Penantian yang panjang hingga berada di titik pendakian ini. Pikir cemas hilang sesaat ketika bau hutan merasuki hidungku. Kaki ku mulai melangkah kecil mencoba merobek malam. Semangat membara karena mereka yang kukasihi menanti kehadiran ku. Buliran keringat membasahi wajahku, tergesa-gesa berharap bisa cepat bertemu mereka. Kaki terus melangkah tanpa memperhatikan wajah-wajah di sekitar. Ada yang cemas, ada yang setengah kosong, ada yang takut dibuntuti sang malam, itu yang kurasakan. Tapi entahlah karena hanya Tuhan yang tahu rasa dibalik sebuah wajah.
Di sisi lain, tidak bisa dibohongi hati ini kembali cemas memikirkan keadaan mereka. Semoga mereka sehat tanpa kekurangan satu apapun, 'doaku sepanjang jalan ini'. Jalan gelap tak mengurangi semangatku karena gelap bukan saat dimana tak ada cahaya, kegelapan ada saat dimana kau tak melihat cahaya. Perlahan tapi pasti, waktu pasti akan mengubur jalan yang kulalui. Asa hilang ketika jalan yang kulalui begitu panjang. Namun asa kembali datang saat seruan dia memanggilku. Sepasang matanya masih terbuka dengan kepala yang mencoba menerawang masuk di kegelapan malam menyerukan dan memanggilku walau gelap samar menutupi pandangannya. Tapi yakinlah cahaya itu tetap ada, begitupun dengan terang, ia bukan saat dimana tak ada gelap. Tetapi terang ada saat dimana kita memilih cahaya. Kuhampiri dia yang menyerukan namaku. Cemas bergantikan senyuman bahagia ketika ku melihat dia. Sinar keraguan terpancar dari wajah-wajah mereka yang terhanyut dalam doa. Seperti sekelompok anak yang keletihan terpisah dari induknya. Namun perlahan sinar harapan terpancar kembali dari wajah mereka setelah kuberi sedikit  api semangat.
Tak lama setelah senda gurau dan istirahat yang cukup,  kami terus melanjutkan perjalanan sebelum malam semakin larut. Kebersamaan itu, tawa itu, keceriaan itu, amarah itu semua menjadi satu menguap bersama malam yang bisu. Dinginnya malam itu memenjarakan tulang seakan darah ini sulit untuk mengalir. Tanpa pikir panjang setelah kaki ini cukup lelah untuk melangkah, kudirikan tenda seadanya seraya melindungi dua malaikat Tuhan dari terpaan angin yang menggetarkan kaki-kaki kecil ini. Malam itu ingin sekali kudekap dia dalam kehangatan hingga tertidur lelap di atas bahuku dibawah naungan nyanyian jiwa.
Cukup lama ku terjaga memerangi sang malam. 'Apa yang akan terjadi besok?' tanyaku malam itu. Semoga yang terbaik. Dalam kedinginan, suara samar adzan subuh seakan menemaniku dan memberikan kehangatan, mentari muncul dengan sedikit senyum sendu dari arah ufuk timur. Sinar nya mulai mengintip merasuk ke celah-celah semak belukar. Gelap pun pudar perlahan termakan cahaya. Pagi itu kusapa mentari dengan kerendahan hati. Muka-muka kusam sisa semalam mulai bangun tertatih seakan lupa dengan dinginnya tadi malam. Pada hakekatnya dinginnya malam dan hangatnya pagi hanya bertugas memainkan perannya. Dan peran kita sebagai manusia harus bisa bersahabat dengan mereka.
Senyum dia dan mereka membuatku tetap terjaga di pagi itu. Dengan berbekal semangat kami lanjutkan perjalanan menuju puncak. Tentu saja perjalanan masih panjang. Senandung nyanyian alam raya menemani langkah kami. Tiap langkah yang kami pijakkan tentu saja disertai dengan rasa syukur karena betapa indah dunia yang Tuhan sediakan untuk kita mainkan. Maha besar kuasa-Nya yang telah menciptakan segala sesuatunya secara sempurna dan berimbang. Berimbang seperti halnya siang dan malam, baik dan buruk, laki laki dan perempuan, kamu dan aku, semuanya terbagi pada dua sisi, semuanya diciptakan berpasangan.
Kembali pada perjalanan. Rasa letih, lelah, haus, dingin, panas yang dirasa hilang terbayar lunas ketika kaki kecil ini berada di titik tertinggi. Bahagia bukan main yang kurasa bisa melihat dia dan mereka bisa tersenyum pana di titik tertinggi ini. Ada satu fase tersirat dalam perjalanan yang mereka telah lewati yakni merangkak, duduk, berdiri, berjalan, melangkah, menanggung beban, suatu fase alur kehidupan yang harus dilalui.
Cerita ini bukanlah cerita, ini hanya sebatas rindu. Kerinduan untuk selalu berada disamping menjaga dia. Perlahan cerita ini hanya akan menjadi selembar penanda bahwa aku ada untuk dia.
Secarik perjalanan ini kutulis bukan untuk membanggakan diri. Hidup hanya sebuah jembatan yang dibangun dan diciptakan untuk diwarnai seindah mungkin. Selalu bersyukur atas kehidupan yang Tuhan pilihkan untuk kita. 'Allahumma, la ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin'.  Maka jadikanlah kami orang-orang yang pandai untuk bersyukur. Yakinilah, setiap jiwa yang hidup pasti akan menemukan  sebuah jawaban yang indah pada akhirnya atas perjalanan panjang penuh tanda tanya ini.

Lawu 2015

By: Siloka Ingsun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://www.caraseoblogger.com/2013/11/cara-menambahkan-animasi-burung-twitter.html#ixzz3el8JkrWy